Senin, 17 Mei 1999, adalah hari yang mendebarkan. Hal itu bukan hanya dirasakan warga Israel, yang tengah mencoblos untuk mencari pemimpin baru (atau mempertahankan yang lama). Warga Palestina pun tahu, pemilu Israel ini punya dampak langsung bagi hari kemerdekaan, yang sedianya akan diproklamasikan awal Mei tempo hari.
Tingkat perjudian melonjak tajam di Tel Aviv, dengan melibatkan taruhan puluhan ribu dolar. Pilihannya hanya dua kandidat utama: Ehud atau Bibi (panggilan akrab Netanyahu).
Seorang pria bernama Raz dan kawan akrabnya mempertaruhkan jadwal piket di sebuah perusahaan pengiriman. “Kalau Barak menang, saya akan menikmati mimpi dalam tidur sepanjang akhir pekan,” ujar Raz. Bahkan Ehud Barak, yang dipertaruhkan banyak penjudi Israel, menjanjikan akan menyelenggarakan makan malam gratis untuk anak-anak pada 14 Juni nanti jika ia menang.
Berbagai jajak pendapat pun memarakkan pasar taruhan. Televisi Saluran Dua menghimpun suara 2.000 rakyat Israel dengan memberikan Barak 45 persen suara dan 37 persen untuk Netanyahu. Jajak pendapat yang berlangsung Senin pekan lalu menunjukkan 52 persen suara untuk Barak dan 40 persen untuk Benjamin Netanyahu. Jajak pendapat lain menunjukkan Barak akan mudah menyingkirkan Netanyahu dalam pemilihan putaran pertama, dengan perbandingan 54 dan 36 jika kandidat partai tengah, Yitzhak Mordechai, dan kandidat dari masyarakat Arab-Israel, Azmi Bishara, mundur dari pertarungan memperebutkan kursi perdana menteri. Mordechai bersikeras tetap maju dalam pertarungan meski popularitasnya jatuh. Sedangkan Bishara akan mundur jika Barak dapat mengalahkan Netanyahu pada pemilihan putaran pertama.
Meski jengkel, Netanyahu tampak tak terusik dengan hasil jajak pendapat itu. “Saya memang selalu kalah dalam jajak pendapat, tapi menang dalam pemilihan,” ujarnya. Bahkan ia melakukan manuver berbahaya dengan keputusannya menutup kantor PLO “Orient House” di Yerusalem Timur, Senin pekan lalu. Menteri Keamanan Dalam Negeri, Avigdor Kahalani, memberi waktu 24 jam kepada PLO untuk menutup “Orient House” atau Israel sendiri yang akan menutupnya. Tapi mahkamah tinggi Israel membekukan keputusan itu pada Selasa pekan lalu.
Netanyahu tampak berambisi menebus dosa terhadap pendukungnya pada pemilu 1996, yaitu kalangan Yahudi Ortodoks dan imigran asal Uni Soviet. Kedua kelompok ini sangat dirugikan oleh Perjanjian Oslo, yang konsep utamanya land for peace, pengembalian tanah untuk perdamaian. Ini bertentangan dengan kepercayaan Yahudi Ortodoks, yang menganggap tanah Israel hanya untuk warga Yahudi, dan juga bertentangan dengan imigran Uni Soviet, yang butuh permukiman.
Sesungguhnya sikap politik Netanyahu dan Ehud Barak tentang isu Palestina tak terlalu tajam. Netanyahu menentang berdirinya negara Palestina. Ia tetap meluaskan permukiman Yahudi, sementara Yerusalem tetap di bawah kedaulatan Israel. Sementara itu, Barak setuju negara Palestina merdeka, tapi tetap mempertahankan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan permukiman Yahudi yang besar tetap di bawah kekuasaan Israel.
Sikap kedua kandidat ini sebenarnya sudah berubah dari sikap tradisional Partai Likud serta Partai Buruh. Netanyahu sudah mau duduk satu meja dengan pemimpin Palestina yang selama ini diharamkan oleh Partai Likud, sebaliknya Barak tak seliberal kebijakan pendahulunya di Partai Buruh dalam isu Palestina. Tak aneh kalau Yigal Amir, aktivis ultranasionalis Yahudi yang membunuh bekas perdana menteri Yitzak Rabin pada 1995, bingung karena kedua kandidat utama ini melanjutkan proses perdamaian dengan Palestina. Ia kecewa karena Netanyahu terlibat dalam proses perdamaian buatan Rabin.
Namun, hasrat hidup dalam damai di kalangan rakyat Israel bukannya tak besar, bahkan di kalangan Yahudi Ortodoks dan imigran Uni Soviet. “Perdamaian adalah isu paling penting. Ini untuk cucu saya,” ujar Natasha Levi, imigran asal Uni Soviet, yang tak lagi mempercayai Netanyahu. Semoga ini secercah harapan bagi perdamaian Timur Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar